About me

Foto Saya
Gayumii bLog
Semoga blog ini bermanfaat
Lihat profil lengkapku
Feeds RSS
Feeds RSS

Rabu, 16 Mei 2012

Teori Belajar Robert C.Bolles


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak melakukan kegiatan yang sebenarnya merupakan gejalah belajar, dalam arti mustahillah dapat melakukan kegiatan itu, kalau tidak belajar terlebih dahulu, Winken dalam Abdi (2009: 11) menyatakan, bahwa terlalu banyak hal yang kita lakukan jika ingin sebutkan satu-persatu, namun secara spontannitas kegiatan yang dilakukan adalah bagian dari belajar.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Sejalan dengan itu, Slameto (1990:2) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Salah satu teori pembelajaran adalah Teori evolusioner. Teori evolusioner lebih menekankan pada sejarah evolusi proses belajar organisme. Paradigma ini lebih berfokus pada cara di mana proses evolusi mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis belajar tetapi membuat jenis belajar lain menjadi sulit atau mustahil.
Penerimaan teori evolusi oleh komunitas ilmiah menandai pukulan telak terhadap ego manusia. Evolusi mengembalikan kontiunitas antara manusia dan hewan lain yang telah diabaikan selama berabad-abad. Kehadiran karya Darwin (1859-1958) On the Origin of Species by Means of Natural Selection, yang mempopulerkan konsep natural selection (seleksi alam) sebagai dasar dari perubahan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Masalah pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Siapakah Robert C. Bolles itu dan bagaimanakah konsep teori revolusiner?
2.      Bagaimanakah batas biologis dari belajar Bolles?
3.      Bagaimanakah aplikasi psikologi evolusioner dalam perilaku manusia?
4.      Bagaimanakah pandangan psikologi evolusioner tentang pendidikan?
5.      Apa sajakah kelebihan dan kekurangan teori evolusioner?
C.     Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini sebagai berikut:
1.      Mengetahui biografi Robert C. Bolles dan konsep teori evolusioner.
2.      Mengetahui batas biologis dari belajar Bolles.
3.      Mengetahui aplikasi psikologi evolusioner dalam perilaku manusia.
4.      Mengetahui pandangan psikologi evolusioner tentang pendidikan.
5.      Mengetahui kelebihan dan kekurangan teori evolusioner.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Robert C. Bolles dan Konsep Teori Evolusioner
Robert C. Bolles lahir di Sacramento, California, pada 1928. Dia bekerja di U.S. Naval Radiological Defence Laboratory di dekat Fransisco, California. Bolles bergabung dengan Garcia dalam program studi psikologi di Berkeley dimana keduanya belajar dibawah bimbingan Tolman. Pada masa ini Lewis Petrinovich melakukan eksperimen awal yang menimbulkan minta Bolles pada teori belajar evolusioner (Bolles & Petrinovich, 1954; Petrinovich & Bolles, 1954). Pada 1964 dia ke University Washington dan mengajar di sana sampai dia meninggal pada 8 April 1994 karena serangan jantung. Sepanjang kariernya Bolles menulis lebih dari 160 artikel riset dan tiga buku teks yang berpengaruh, termasuk teks tentang teori belajar. Dia bekerja sebagai editor Animal Learning and Behavior tahun 1981 sampai 1984.
Ø  Konsep Teoritis Utama
-          Expekstasi
Menurut Bolles, belajar melibatkan pengembangan expectancies (ekspektasi,pengharapan). Yakni, organisme belajar satu jenis kejadian yang mendahului kejadian lainnya.
·      Pengkondisian klasik sebagai ekspektasi yang dipelajari yang ketika diberi satu stimulus (CS) akan menimbulkan stimulus lain (US). Dalam kehidupan sehari-hari, melihat kilat dan berharap ada suara petir adalah contoh dari jenis ekspektasi stimulus-stimulus atau S-S ini.
·      Pengkondisian operan dan Instrumental melibatkan pengembangan ekspektasi respons-stimulus atau R-S (Bolles, 1972). Misalnya seekor tikus belajar mengharapkan bahwa jika ia menekan tuas dalam kotak, maka akan muncul makanan. Dalam kehidupan sehari-hari, berharap mendengar suara bel ketika tombol bel di pintu ditekan adalah contoh dari ekspektasi R-S.
-          Predisposisi Bawaan
Penekanan Bolles pada ekspektasi menunjukkan pengaruh dari Tolman. Akan tetapi, ada perbedaan penting antara kedua teoritisi itu. Tolman berkosentrasi pada ekspektasi S-S dan R-S yang dipelajari, sedangkan Bolles menekankan pada ekspektasi S-S dan R-S bawaan (innate) dalam analisisnya terhadap perilaku, dan penekanan pada S-S dan R-S bawaan inilah yang menempatkannnya segolongan denga psikolog lain yang tertarik pada penjelasan perilaku dari prespektif evolusi. Contoh dari dari hubungan S-S bawaan adalah ketika bayi menunjukkan ketakutan akan suara yang keras, mengisyaratkan bayi tersebut memperkirakan peristiwa yang berbahaya untuk diikuti. Ekspektasi R-S bawaan dicontohkan oleh perilaku stereotip yang banyak dilakukan spesies saat menghadapi makanan, minuman, bahaya, dan objek atau kejadian biologis yang signifikan lainnya.
Menurut Dojman (1997), cacat dalam teori belajar tradisional, seperti teori Thorndike, Watson, Skinner, Hull, adalah asumsinya yang dikenal sebagai empirical principle of equipotentiality (prinsip ekuipotensialitas empiris) (jangan tertukar dengan hukum ekuipotensialitas-nya Karl Lashley). Prinsip ekuipotensialitas empiris ini menyatakan bahwa hukum belajar “berlaku secara ekual untuk setiap tipe stimulus dan setiap tipe respons”. Jadi, prinsip eekuipotensialitas empiris menyebabkan menyebabkan periset mempelajari belajar dalam satu spesies tertentu tanpa mempertimbangkan sejarah evolusi dari spesies itu. Selain itu, ketika anggota spesies tidak belajar melakukan suatu respons dalam kondisi yang ditentukan, hasil yang mengecewakan akan dinisbahkan ke disfungsi peralatan atau kesalahan eksperimenter, atau dianggap sebagai “gangguan” yang tidak bisa dijelaskan.
-          Motivasi Membatasi Fleksibilitas Respons
Beberapa teoritis telah meminimalkan atau menolak peran motivasi dalam proses belajar (misalnya, Guthrie dan Tolman). Teoritisi lainnya (misalnya, Hull) mementingkan motivasi organisme. Menurutnya, motivasi dan belajar tidak bisa dipisahkam. Namun, dalam pandangan Bolles, seseorang harus tau baik itu keadaan motivasional itu. Menurut Bolles (1979, 1988), organisme mungkin fleksibel dalam hal ekspektasi S-S, ekspektasi R-S mungkin lebih terbatas sebab motivasi menghasilkan bias respon. Artinya, hewan akan kesulitan mempelajari perilaku yang berkonflik dengan perilaku yang terjadi secara alami dalam situasi tersebut. Misalnya, organisme tidak akan belajar perilaku yang berhubungan dengan tindakan membebaskan diri guna mendapatkan makanan, atau tidak akan belajar perilaku tertentu untuk bisa bebas dari stimulus yang menyakitkan atau berbahaya.
-          Argumen Tempat
Bolles (1988) mengatakan bahwa pemahaman atas belajar harus diiringi dengan pemahaman atas sejarah evolusi organisme. Dia mengatakan bahwa, hewan punya kewajiban, dorongan, untuk belajar dan untuk tidak belajar, tergantung pada tempat mereka berada dan bagaimana menyesuaikan diri dengan keseluruhaan skema. Kita dapat memperkirakan beberapa jenis pengalaman akan direfleksikan dalam belajar, dan sebagian lainnya tidak... tugas belajar yang melanggar komitmen biologis terhadap tempatnya dapat diperkirakan akan menghasilkan perilaku anomali. Sebuah tugas belajar yang menguatkan predisposisi hewan untuk berperilaku dengan cara tertentu akan lebih besar kemungkinannya untuk sukses. Ini adalah argumen tempat.

B.     Batas Biologis Robert C. Bolles
Ø  Batas Biologis dari Belajar
Kita telah melihat bahwa teori Bolles dibangun berdasarkan ide bahwa predisposisi bawaan akan membatasi asosiasi yang bisa dipelajari organisme dan respon yang akan diberikan organisme dalam situasi spesifik. Ide ini didukung oleh Seligman (1970) yang berpendapat bahwa beberapa spesies belajar asosiasi dengan lebih mudah dibanding spesies lainnya sebab mereka secara biologis sudah lebih siap untuk melakukannya. Jadi tempat asosiasi pada preparedness continuum (kontinum kesiapan) akan menentukan seberapa mudah asosiasi itu akan dipelajari.
Ø  Pengkondisian Instrumental  
Dalam eksperimennya Bolles`menggunakan satu kelompok tikus untuk menguji teorinya, tikus-tikus itu dibuat kehausan dan kelaparan. Mereka diperkuat dengan air dan makanan kemanapun mereka berbelok. Dalam studi ini tikus yang lapar yang mencari makanan melakukan tugas dengan lebih cepat ketimbang tikus haus yang mencari air. Penjelasan evolusi bisa menerangkan bahwa tikus berkembang sebagai hewan omnivora dan suka keluyuran, maka mereka mungkin akan menyimpang dalam mewncari makanan di lokasi yang sama sedangkan air adalah sumber yang lebih stabil. Dengan kata lain tikus siap untuk pergi ke tempat yang sama untuk mencari air tetapi tidak mereka tidak siap untuk pergi ke tempat yang sama untuk menemukan makanan.
Melarikan diri dan menghindar. Organisme mungkin menunjukkan tingkat fleksibilitas respon dan eksplorasi dalam hal mendapatkan makanan dan minuman. Misalnya tikus lapar mungkin menekan tuas, menelusuri jalur teka-teki, mengendus cangkir kecil dan sebagainya. Bolles mengakui bahwa hewan melarikan diri dari predator harus bisa dilakukan dalam satu kali tindakan agar ia bisa bertahan hidup.
Strategi tikus adalah menggunakan pola perilaku yang tepat untuk melindungi dirinya se4ndiri yanmg disebut sebagai reaksi defensif spesifik-spesifik (SSDR).

Ø  Pengkondisian Operan
Bolles,Reley,Cantor dan Duncan (1974) menunjukkan bahwa semua tikus akan belajar mengantisipasi makanan jika ia disajikan pada jadwal penguatan interval tetap (F1) (sekali per hari) namun mereka tidak siap untuk mempelajari setrum listrik yang menyakitkan jika setrum itu terjadi pada jadwal F1 sama. Menurut Bolles tikus dapat dengan mudah lari maju mundur untuk ,menghindari setrum tetapi mereka kesulitan menekan tuas untuk menghindari setrum.
Ø  Autoshaping
Bolles (1979) menyatakan bahwa autoshaping melibatkan belajar S-S namun tidak terjadi belajar rerspon baru. Dia menginterpretasikan perilaku mematuk itu sebagai respon bawaan terhadap stimulus yang karena kontiguitas temporalnya dengan menyajikan makanan mendapatkan properti yang terkait dengan makanan. Dalam eksperimen autoshaping pematukan mereduksi tingkat penguatan namun pematukan kunci terus berlanjut. Evolusi tidak selalu melahirkan kemajuan, adaptasi yang mungkin sukses di tempat tertentu (EEA) mungkin akan bermasalah dalam lingkungan modern atau dalam laboratorium.
Ø  Pengkondisian Klasik
Di dalam riset Garcia mengidentifikasikan bahwa di dalam suatu spesies, asosiasi tertentu akan lebih mudah dibentuk ketimbang asosiasi lainnya karena adanya sejarah evolusi spesies itu. Karena itu para penulis berpendapat bahwa spesies akan bisa sangat adaptif jika (sebagian besar) organisme dapat belajar menghindari berdasarkan aroma bukan berdasarkan bentuk,warna atau struktur dari makanan atau minuman yang membuat mereka sakit. Seperti respon yang dikondisikan lainnya aversi cita rasa yang dipelajari dapat mengalami pelenyapan (extinction). Dengan kata lain jika aroma (CS) disajikan berkali-kali tanpa diikuti rasa sakit (UR) organisme akan mendekati dan mengonsumsi substansi yang pernah dihindarinya.
Ø  Behaviorisme Biologis
Karya yang lebih baru dari William Timberlake memperluas dan mengelaborasikan argumen Bolles. Timberlake memuji tradisi behavioral atas perannya dalam membangun metobe standar dan teknik pengukuran standart untuk meneliti belajar dan dia mengakui logika dari percobaan yang terkontrol yang telah matang pada masanya behaviorisme. Tetapi seperti Bolles, Timberlake berpendapat bahwa usaha untuk mengungkap prinsip belajar yang umum dan abstrak cenderung mengabaikan perbedaan spesifik-spesifik dalam kesiapan belajarnya. Jadi jika kita tidak memahami organisme dari prespektif bioevolusi fenomena seperti yang diamati dalam autoshaping atau “misbehavior” sering dianggap sebagai kesalahan dan membuat kita mungkin menolak teori atau metode lain yang mungkin lebih berguna.

C.     Aplikasi Psikologi Evolusioner dalam Perilaku Manusia
Psikologi evolusioner telah di aplikasikan secara luas untuk memahami perilaku manusia. Wilson menyajikan basis biologis dari perilaku sosial manusia. Dia berpendapat bahwa baik itu pikiran manusia atau kultur manusia terus berkembang lantaran hal-hal tersebut membantu kelangsungan hidup manusia. Peran psikologi dalam sintesis baru ini dikemukakan dalam akalah Wilson yang disampaikan pada pertemuan nasional American Psicological Association di Boston pada tahun 1999. Dalam pembahasan dibawah nanti kita akan membatasi diri pada pengaruh persiapan belajar terhadap perkembangan fobia, seleksi pasangan, parenting, kekerasan keluarga, “altruisme”, dan perilaku moral, serta perkembangan bahasa, tapi ada bidang lain dimana prinsip evolusi telah diaplikasikan, seperti agresi dan perang; pemerkosaan, incest, dan bunuh diri; penghindaran incest; dan agama.
Ø  Perkembangan Fobia
Fobia pada manusia, yang berupa rasa takut berlebihan terhadap suatu stimuli seperti ular atau laba-laba, sulit untuk dijelaskan dalam term pengkondisian klasik. Penjelasan evolusioner tentang perkembangan fobia dibawah ini diberikan oleh Lumsden dan Wilson (1981) dan penjelasan ini sesuai dengan konsep kesiapan Seligman:
Kesiapan belajar manusia paling jelas dimanifestasikan dalam kasus fobia, yang berupa rasa takut yang disebabkan oleh kombinasi dari beberapa hal. Fobia memberikan respons yang ekstrem. Fobia biasanya muncul dengan seutuhnya setelah ada satu penguatan negatif dan biasanya sulit untuk dihilangkan. Yang menarik adalah fenomena yang menimbulkan reaksi ini (ruang tertutup, ketinggian, badai, air deras, ular dan laba-laba) secara konsisten mengandung beberapa bahayayang mengancam lingkungan manusia sedangkan pistol, pisau, mobil, stop kontak listrik, dan peralatan teknologi lainnya yang berbahaya jarang menimbulkan fobia. Maka, adalah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa fobia dalah kasus ekstrem dari reaksi ketakutan irasional yang menyebabkan rasa takut menjadi berlebihan. Seseorang terkadang lebih suka menjauhi bukit ketimbang berjalan diatasnya.
Ohman dan Mineka (2001, 2003) mengatakan bahwa beberapa fobia diperoleh secara cepat karena mereka dimediasi oleh proses belajar otomatis yang tak disadari. Untuk mengeksplorasi bagaimana belaja r tanpa sadar ini bekerja, Ohman dan rekannya menggunakan prosedur yang dinamakan backward masking. Dalam prosedur ini , sebuah stimulus visual ditampilkan sebentar, mungkin hanya 20 atau 30 milidetik. Stimulus ini di ikuti dengan tayangan visual kedua. Penayangan visual kedua ini tampaknya mencampuri atau “menutupi” pemrosesan visual secara sadar terhadap stimulus. Jadi, stimulus kedua ini adalah satu-satunya yang dipersepsi secara sadar. Prosedur ini dapat digambarkan dalam diagram berikut:


 



 



Psikolog evolusioner juga mendiskusikan xenophobia atau rasa takut terhadap orang asing. Fobia ini , kata mereka berasal dari tendensi primitif untuk mendikotomisasikan orang sebagai anggota satu kelompok (klan, desa, atau suku) dengan orang diluar anggota kelompok. Anggota dalam kelompok hidup sesuai dengan keyakinan dan aturan yang sama (misalnya prinsip agama) dan umumnya dianggap sebagai kawan, sedangkan orang luar kelompok hidup berdasarkan aturan dan prinsip berbeda dan dianggap sebagai setidaknya musuh potensial. Dalam xenophobia seseorang mungkin melihat adanya kecenderungan natural kearah prasangka.
Ø  Seleksi Pasangan
Dari sudut pandang psikologi evolusioner pemilihan pasangan, banyak standar yang ditransmisikan secara sosial sebenarnya adalah standar buatan. Banyak standar sosial sebenarnya dengan daya tarik bisa berubah-ubah: misalnya, standar gaya rambut, riasan wajah, gaya pakaian, dan bahkan bentuk tubuh, semuanya bisa berubah. Bagi psikolog evolusioner, harus ada kriteria seleksi pasangan yang lebih mendasar ketimbang standar sosial untuk daya tarik fisik di dalam satu kultur dan kriteria ini bersifat universal. Karenanya perspektif evolusioner menunjukkan bahwa pasangan yang menarik akan memiliki karakteristik yang mungkin tidak ada hubungannya dengan daya tarik fisik. Contoh karakteristik itu misalnya sifat pengasih dan pengasuh, subur reproduksinya, pantas jadi pasangan dan orang tua, dan sebagainya.. Karakteristik paling penting yang diidentifikasikan oleh pria atau wanita adalah kebaikan dan pemahaman, kemudian kecerdasan, yang semua faktor itu penting bagi kelangsungan hidup kita, pasangan kita, dan keturunan kita. Walau ada kemiripan antara pria dan wanita namun ada dua pengecualian. Lelaki cenderung meletakkan urutan “daya tarik fisik” di tingkat lebih tinggi ketimbang wanita, dan wanita cendering meletakkan “kemampuan mencari nafkah yang baik” lebih tinggi ketimbang lelaki. Penjelasan evolusi untuk perbedaan ini adalah bahwa perempuan menghabiskan banyak sumber daya biologis untuk melahirkan dan mengasuh anak, dan karena wanita, sampai saat ini, masih merupakan satu-satunya pihak yang bisa mengandung bayi. Jadi, wanita lebih menekankan pada kemampuan pria untuk melindungi dan memberi nafkah keluarga. Sebaliknya, lelaki memberi penekanan lebih pada daya tarik fisik karena dianggap sebagai prediktor kemampuan reproduksi wanita.
Ø  Parenting
Walaupun peran spesifik orang tua dalam mendidik, mensosialisasikan, dan mendisiplinkan anak akan dipengaruhi oleh kultur, mereka juga merefleksikan pengaruh biologis. Bagi psikolog evolusioner, tugasnya adalah menjelaskan mengapa dua orang dewasa mungkin menghabiskan sumber daya fisik dan biologisnya (dan melakukan kegiatan yang berisiko) untuk orang lain (yakni si anak) yang jarang mengatakan “terimaksih” dan mungkin tidak menyadar pentingnya tindakan pengorbanan orang tua selama bertahun-tahun.
Seleksi Kerabat, penjelasan evolusi tentang parenting dimulai dengan prinsip seleksi kerabat Neo-Darwinian, yakni ide bahwa kesesuaian evolusioner membutuhkan kelangsungan bukan hanya gen-gen kita, tetapi juga gen-gen dari individu yang memiliki hubungan dengan kita (kecocokan inklusif). Hamilton’s Rule (kaidah Hamilton) menunjukkan hal ini berkaitan dengan altruism (altruisme), yakni tindakan pengorbanan diri tanpa pamrih demi kebaikan pihak lain. Secara spesifik kaidah itu mengatakan bahwa perilaku altruistik terjadi ketika rB > C dan:
B = Manfaat yang didapat oleh penerima tindakan altruistik
C = Biaya yang mesti di tanggung pelaku tindak altruistik
r = Proporsi gen yang sama-sama dimiliki oleh aktor dan resipian tindakan altruistik.
Dengan cara ini psikolog evolusioner memandang parenting bukan sebagai perilaku yang dipelajari, tetapi sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh prisip seleksi kerabat. Keturunan kita akan banyak di untungkan karena mereka termasuk dalam orang yang paling mungkin mendapatkan bantuan tanpa pamrih dari kita. Seperti dikatakan Krebs (1998), orang tua “sekedar melakukan apa yang mereka harus lakukan untuk memperbanyak gen mereka sendiri.”
Perbedaan Jenis Kelamin. Barash (1979) menunjukkan bahwa parenting kebanyakan adalah tugas perempuan: “ belum ada dalam sejarah manusia, baik dimasa lalu maupun kini, ada perempuan yang tidak memiliki tanggung jawab utama untuk pengasuhan anak. Parenting adalah pekerjaan yang berkaitan dengan jenis kelamin. Menurut psikolog evolusioner, ada dua alasan utama mengapa wanita cenderung lebih terlibat dalam parenting ketimbang pria. Pertama, wanita memiliki lebih banyak “investasi” pada anak ketimbang lelaki. Barash menjelaskan bahwa “Telur di buahi oleh sperma, bukan sebaliknya. Dan yang hamil adalah wanita, bukan pria. Yang kedua, seperti dikemukakan Buss (1998): “tidak pernah wanita merasa ragu bahwa anak yang dilahirkannya adalah anaknya sendiri. Sebaliknya, lelaki boleh jadi tidak yakin bahwa bayi itu adalah hasil spermanya.”
Kekerasan keluarga, implikasi penting dari kaidah Hamilton dan seleksi kerabat secara umum adalah perilaku kekerasan tidak mungkin diarahkan kepada orang-orang yang memiliki gen sama dengan kita. Karenanya, kekerasan dalam keluarga, seharusnya jarang terjadi. Namun, kenyataannya kekerasan dalam keluarga hampir terjadi setiap hari. Secara spesifik, seleksi kerabat menguatkan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga yang tidak terkait secara genetik. Misalnya dalam kompilasi data pembunuhan di Detroit, Daly dan Wilson menemukan bahwa tindak pembunuhan yang dilakukan terhadap pasangan (kerabat yang tidak punya hubungan genetik), atau individu lain yang bukan kerabat dekat, besarnya lebih banyak 20 kali lipat ketimbang pembunuhan terhadap orang tua, anak, atau kerabat yang punya hubungan genetik.
Ø  Altruisme dan Perilaku Moral
Jenis altruisme yang didikusikan di atas dinamakan kin altruism (altruisme kerabat) dan kemunculannya ditentukan oleh Kaidah Hamilton. Psikolog evolusioner juga mendiskusikan reciprocal altruism (altruime resiprokal), yakni tindakan membantu yang dilakukan oleh individu yang tidak punya hubungan secara genetik dengan yang dibantu. Altruime resiprokal didasarkan pada fakta bahwa manusia yang bekerja sama lebih mungkin untuk bertahan hidup ketimbang mereka yang tidak mau bekerja sama (misalnya, dalam berburu atau berperang). Altruisme resiprokal di dasarkan pada asumsi bahwa  jika seseorang membantu anggota komunitas , maka suatu saat nanti, anggota itu, atau anggota lain dari komunitas itu, akan membalas dengan memberi pertolongan pula. Altruisme ini mengikuti pepatah : “Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana anda ingin orang lain berbuat kepada diri anda sendiri.”
Ø  Bahasa
Menurut psikolog evolusioner, belajar bahasa mungkin mengilustrasikan kesiapan biologis dalamproses belajar manusia secara lebih dramatis ketimbang fenomena lain yang kita diskusikan.
Pinker (1994) mengakui bahwa masih banyak yang harus dipelajari tentang evolusi bahasa, perkembangan bahasa, dan peran otak manusia dalam fenomena ini, dia sangat mendukung perspektif psikologi evolusioner:
Setiap diskusi menunjukkan kompleksitas naluri bahasa yang adaptif. Bahasa banyak terdiri banya: sintaksis, dengan kombinasi frasanya morfologi, sistem kombinasi kedua: leksikon, vokal, kaidah fonologi dan struktur fonologi, persepsi ucapan, algoritma, algoritma belajar. Bagian-bagian itu secara fisik diketahui sebagai sirkuit neural yang rumit. Sirkuit ini mempunyai kemampuan penting, kemampuan untuk menyampaikan berbagai macam struktur pemikiran dari kepala ke mulut.”
D.    Pandangan Psikologi Evolusioner tentang Pendidikan
Psikologi evolusioner tidak memiliki implikasi untuk teknik pengajaran spesifik, tetapi memiliki implikasi untuk kurikulum pendidikan secara umum. Psikolog evolusioner juga percaya bahwa manusia secara biologis siap untuk belajar hal-hal yang dinilai positif oleh suatu kultur. Misalnya, karena manusia cenderung bisa menguasai bahasa, maka sekolah harus menekankan pada belajar bilingual di tahap awal pendidikan.
Psikolog evolusioner mengingatkan pendidikan untuk menghindari “nothing-butism”, yakni asumsi bahwa perilaku ditentukan oleh gen atau oleh kultur saja. Menurut mereka, perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari keduanya. Realisasi ini mungkin secara khusus penting ketika menghadapi problem perilaku seperti prasangka atau agresi.



E.     Kelebihan dan Kekurangan Psikologi Evolusiner
Pada prinsipnya setiap teori yang dikemukakan oleh para ahli adalah benar dalam bingkai-bingkai tertentu. Sementara implementasi yang dituntut saat ini adalah kemampuan pengajar dalam menghargai pembelajar sebagai manusia yang bersifat individual dan sosial. Kaitannya dengan analisis teori belajar evolusioner dapat dilihat pada tabel di bawah ini
No
Teori Belajar
Konsep Dasar
Keunggulan
Kelemahan
1
Evolusioner
Perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari gen dan dan kultur
-       Kecerdasan adalah sifat genitas yang dimili manusia
-       Dominasi kultural yang harus dihindari
-      Mengabaikan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang oleh satu individu yang  dapat meningkatkan pemahaman objek yang diulangi.
-       Akselarasi kultur yang berimplikasi pada tingkat keragaman kultural

Ø  Kontribusi
      Psikologi evolusioner membedakan antara proximate explanations dengan ultimate explanations tentang prilaku. Proximate explanations merujuk pada kondisi deprivasi, stimuli lingkungan yang dapat diamati, kontingensi penguatan, dan sejarah belajar organisme. Ultimate explanations menekankan pada ciri bawaan dan prilaku organisme yang dibentuk oleh seleksi alami.
Ø  Kritik
Mungkin kritik paling umum terhadap psikologi evolusioner, dan terhadap teori evolusi, adalah klaim bahwa argumen evolusioner bersifat sirkular ( memutar). Artinya, pengkritik mengatakan bahwa adaptasi yang sukses didefinisikan sebagai ciri bawaan fisik atau behavioral yang menjaga seleksi alam ( dan karenanya direproduksi); karenanya, jika suatu perilaku eksis dalam satu generasi, ia pasti dipilih dan karenanya akan menjadi adaptasi yang sukses.
      Kritik kedua mangatakan bahwa penjelasan evolusi tentang perilaku mencakup doktrin determinisme genetik. Yakni, jika kita adalah produk dari warisan genetik, maka kita mewarisi gen yang serakah dan mementingkan diri sendiri.
      Ketiga, pengkritik khawatir bahwa psikology evolusioner menyebabkan kembalinya Darwinisme sosial, doktrin yang menjustifikasi nepotisme, rasisme, dan mungkin bahkan pembiakan selektif.
      Keempat, kritikus mengklaim bahwa predisposisi genetik tidak mencakup proses belajar akibatnya pengkritik ini mengatakan bahwa jika suatu perilaku adalah hasil dari proses genetik, maka perilaku itu tidak dipelajari. Situasi hanya memunculkan perilaku; jadi, semua perilaku dideskripsikan sebagai gugusan respon yang tidak dikondisikan.















BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Menurut teori evolusioner perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari gen dan dan kultur. Teori evolusioner lebih menekankan pada sejarah evolusi proses belajar organisme. Paradigma ini lebih berfokus pada cara di mana proses evolusi mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis belajar tetapi membuat jenis belajar lain menjadi sulit atau mustahil. Penerimaan teori evolusi oleh komunitas ilmiah menandai pukulan telak terhadap ego manusia. Evolusi mengembalikan kontiunitas antara manusia dan hewan lain yang telah diabaikan selama berabad-abad. Kehadiran karya Darwin (1859-1958) On the Origin of Species by Means of Natural Selection, yang mempopulerkan konsep natural selection (seleksi alam) sebagai dasar dari perubahan tersebut.

B.     Saran
Agar proses belajar berlangsung secara sukses maka diperlukannya perilaku eksis sebagai proses adaptasi. Kecerdasan bawaan yang diyakini dapat mempengaruhi dalam proses pembelajaran dapat ditingkatkan melalui kultur yang ada dalam lingkungannya itu. Kami harapkan dengan adanya pemahaman mengenai teori-teori pembelajaran ini, dapat mempermudah para konselor atau guru BK dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.











DAFTAR PUSTAKA

Hill, F Winfred. 2011. Theories of Learning. Bandung: Nusa Media.
Hergenhahn B.R. dan Olson H. Matthew. 2008. Theories of Learning. Jakarta: Kencana.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

makalahnya persis banget sama buku ya??? hehe

Posting Komentar